Pembalasan Untuk Gus Dur

on Thursday, April 18, 2013



Patung kontroversial 'Mata Hati Gus Dur' karya Cipto Purnomo

Allah sudah berjanji bahwa Allah akan menghinakan orang orang yang telah menodai agamaNya melalui kutukan, atau azab dan lain lain.

Lihatlah kepada Gusdur kita ini.

Betapa banyak hal-hal yang  telah dilakukan gusdur, yang kesemuanya adalah bertujuan hanya untuk merugikan Islam semata. Gusdur secara formal memang beragama Islam, namun justru ia lebih ingin memuliakan agama orang dan menghinakan agama nya sendiri yaitu Islam. Tidak ada satu pun ide gusdur kecuali ide itu untuk MERUGIKAN Islam dan pihak kaum Muslim.

Menurut Cipto, patung Buddha yang berwajah Gus Dur tersebut lebih menggambarkan sosok Gus Dur yang pluralis, bisa diterima masyarakat dan gambaran kebaikan


Dosa-dosa Gus Dur :

1. Mengatakan al-Qur’an sebagai kitab paling porno di dunia.

2. Memperjuangkan pluralisme.

3. Mengakui semua agama benar.

4. Menjalin kerjasama dengan Israel.

5. Mendukung gerakan kristenisasi.

6. Membela Ahmadiyah.

7. Ingin mengganti ucapan assalamu alaikum dengan selamat siang.

8. Tidak bersimpati terhadap korban Muslim pada perang Ambon.

9. Di dalam RUU Sisdiknas, Gusdur lebih membela aspirasi kaum kafirin untuk mentiadakan / mencabut pasal memasukkan pelajaran agama di sekolah-sekolah, dan justru menentang aspirasi kaum Muslim agar pasal pelajaran agama di sekolah-sekolah dimasukkan di dalam UU Sisdiknas. Di dalam hal ini, kaum Kristen menuntut supaya pasal pendidikan agama dicabut dari system Sisdiknas, karena dengan demikian supaya kaum Kristen semakin mudah mengkafirkan generasi Muslim di Indonesia.

10. Menginginkan Indonesia menjadi sekuler.

11. Di dalam RUU Pornografi, kembali Gusdur lebih membela aspirasi kaum kafirin agar DPR tidak mensahkan RUU Anti Pornografi menjadi undang-undang, dan justru menentang aspirasi kaum Muslim supaya Indonesia / DPR mensahkan UU Anti Pornografi demi menjaga moral bangsa. Pada moment inilah gusdur menyatakan bahwa Alquran adalah kitab paling porno se-Dunia!.

12. Gusdur ikut bersama kaum kafirin merangsek untuk menuntut Pemerintah mencabut pasal penodaan agama. Padahal pasal itu amat sentral demi terjaminnya kerukunan umat beragama. Yang dibidik Gusdur adalah kaum Muslim, supaya kaum Muslim tidak berkutik ketika agama nya dihina.

13. Gusdur ikut bersama kaum kafirin merangsek untuk menuntut Pemerintah mencabut pasal pendirian rumah ibadah melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Padahal pasal itu amat sentral demi terjaminnya kerukunan umat beragama. Yang dibidik Gusdur adalah kaum Muslim, supaya kaum Muslim tidak berkutik ketika kaum kafirin membangun Gereja di mana-mana.

14. Dibaptis. Ini pertanda bahwa gusdur adalah munafik. Kalau memang ia benar-benar murtad dari Islam, maka hal itu tidak masalah sama sekali. Namun belakangan ia masih juga mengaku Muslim, dan pembaptisannya itu ia gunakan untuk menyerang Islam.

15. Pemberian Raja Brunei untuk rakyat Indonesia yang kala itu sedang kelaparan, dimakan sendiri oleh gusdur. Dia bilang bahwa pemberian Raja Brunei itu adalah untuk pribadinya saja.

16. Menyerukan supaya MUI (Majlis Ulama Indonesia) dibubarkan.

17. Merestui dan membela Inul dengan goyang ngebornya, padahal semua Ulama sudah mengutuknya.


Sehingga kini patung tersebut masih terdapat di Studio Mendut milik Sutanto Mendut.

Maka apakah Allah Swt akan berdiam diri melihat kebebasan gusdur bergerak???

Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur wafat pada tanggal 30 Desember pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit RSCM. Presiden ke 4 ini wafat akibat komplikasi jantung.  Penyakitnya diperberat dengan adanya gangguan ginjal dan kencing manis.

Gusdur wafat pada  tanggal 30 Desember, atau tepatnya ketika semua manusia di belahan Bumi mana pun bersiap-siap untuk menyambut kegembiraan tahun baru.

Tahun baru, adalah saat di mana semua manusia menciptakan kegembiraan yang penuh dengan sorak sorai sepanjang malam dan sepanjang siang. Banyak dari manusia itu yang memanfaatkan moment pergantian tahun itu untuk berpesta pora dan bahkan mabuk-mabukan.

Yang terpenting dari fenomena tahun baru adalah, bahwa siapa pun sebenarnya TIDAK DAPAT menghindari hingar bingar kegembiraan tahun baru tersebut. Bahkan, tidak ada satu pun manusia yang ingin melewatkan kegembiraan tersebut. Baik ia miskin, kaya, di kota, di desa, tua muda dan seterusnya pasti mereka tak ingin melewatkan waktu untuk menikmati moment pergantian tahun tersebut ….

Ketika tahun baru tiba, semua manusia (dikondisikan untuk) merasa bahagia. Bahkan mungkin terkesan bahwa malam tahun baru adalah masa ketika semua manusia INGIN MELUPAKAN semua kesengsaraannya yang ada, melupakan semua masalah yang ada, dan mendedikasikan malam tahun baru itu hanya untuk bergembira saja ….

Namun …………, apakah yang terjadi jika seseorang meninggal bertepatan dengan moment pergantian tahun baru tersebut? Pastilah keluarga dari si mati akan merasa sedih dan serbasalah. Di satu pihak, keluarga si mati akan bermuram durja di depan pembaringan sang jenazah: apakah mungkin keluarga si mati akan bersorak sorai gembira untuk menyambut tahun baru – padahal anggota keluarga mereka yang kesayangan sedang menjadi mayat di pembaringan? Kemudian, pada umumnya para tetangga dari keluarga si mati pun akan berdatangan ke rumah duka untuk menyampaikan belasungkawa, dan akan menemani keluarga si mati untuk memberi dorongan moril.

Namun karena kematian itu terjadinya pada moment tahun baru, pastilah tetangga dari keluarga si mati lebih ingin merayakan tahun baru tersebut bersama dengan yang lain di dalam kegembiraan, KETIMBANG duduk membisu mendampingi keluarga duka. Yang jelas, semua nya jadi serbasalah!

Maka, jadilah keadaan tersebut: ketika keluarga gusdur bermuram durja dengan mata merah bengkak di depan pembaringan sang jenazah, justru para tetangga di sekitar keluarga duka tersebut DAN SELURUH WARGA DUNIA LAINNYA bersorak sorai menyambut tahun baru dengan penuh gembira.

Apa yang terlihat dari kombinasi demikian?

Tidak ada!

Kecuali satu hal: kesan yang timbul adalah, bahwa seolah SELURUH DUNIA BERSORAK GEMBIRA KETIKA GUSDUR WAFAT!!!! Kesan yang tercipta adalah bahwa Dunia teramat senang dengan matinya gusdur, manusia paling hina di muka Bumi ini. Dunia diperlihatkan TIDAK PERDULI dengan matinya sang gusdur, Dunia bahkan tidak menangis. Dunia diperlihatkan tertawa terbahak-bahak ketika jenazah gusdur membeku dingin menanti saat untuk dimakamkan ke dalam tanah sekian kali sekian meter untuk selama-lamanya.

Jika individu individu lain wafat (yang mana wafatnya tidak bertepatan dengan moment pergantian tahun), seluruh kota justru terkesan bersedih, berduka, menangis. Ada rasa belasungkawa, tidak ada tawa, tidak ada sorak sorai, tidak ada wajah acuh, semua tampak terpaku dan terdiam, mengiringi kepergian sang jenazah ke liang kubur. Seluruh warga kota akan memberikan penghormatannya, meski seluruh warga kota tidak tahu siapa yang meninggal tersebut. Warga lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan keluarga duka, akan memberi jalan kepada iring-iringan jenazah tersebut dengan wajah penuh hikmad. Warga mana pun yang melihat ada kematian di salah satu sudut kota atau gang, pastilah mereka akan turut merasakan kesedihan, karena toh semua mereka adalah manusia yang mempunyai perasaan yang sama akan kesedihan jika ditinggal mati. Tidak ada pernah kejadian, ketika suatu rumah mengalami kematian, maka pesta musik di rumah sebelah tetap diselenggarakan, tidak pernah! Justru pesta musik itu harus dihentikan demi menghormati dia yang wafat – karena toh akhirnya mereka juga merasakan kesedihan tersebut….

Namun hal itu tidak terjadi atas kematian gusdur durjana ini!

Ketika gusdur wafat yang bertepatan dengan moment pergantian tahun, tidak ada wajah sendu di mana-mana. Yang ada justru pesta hingar bingar, sorak-sorai dan pesta semalam suntuk. Lebih dari itu, seluruh warga kota TIDAK PERDULI bahwa keluarga duka sedang menangisi kepergian sang gusdur ….
Ketika gusdur wafat, TIDAK SATU PUN pesta hingar bingar untuk menyambut tahun baru YANG HARUS DIHENTIKAN apalagi dibatalkan! Bahkan semua pesta kebahagiaan tersebut terus berlangsung tanpa perduli bahwa ‘sahabat’ mereka sudah terbujur kaku di rumah duka. Mereka tidak perduli. Hanya tawa dan gembira dan sorak sorai yang terdengar di seluruh penjuru angkasa pada saat-saat tersebut.

Itulah kutukan Allah Swt atas gusdur! Itulah penghinaan Allah Swt untuk gusdur, musuhNya dan musuh agamaNya.

Sengaja Allah Swt mewafatkan gusdur itu bertepatan dengan moment pergantian tahun yaitu pada tanggal 30 Desember, supaya hari ketika gusdur mati itu, seluruh warga Dunia justru bergembira dan bersorak sorai, dan TIDAK PERDULI bahwa gusdur sudah membusuk tanpa nyawa.

Itulah Hukum Allah Swt atas gusdur. Di Dunia dia beroleh penghinaan, dan di akhirat pun akan beroleh penghinaan yang lebih pedih lagi yaitu api Neraka Jahanam!!! (kecuali Allah swt berkehendak lain).

Tidak perduli apa pun yang diperbuat gusdur ketika ia hidup, toh ketika ia mati, semua manusia justru bersorak sorai!! Memang itulah maksudnya mengapa Allah Swt ambil nyawa gusdur pada  tanggal 30 Desember.

Gusdur mati pada tanggal 30 Desember, hal mana itu membuat peristiwa kematian gusdur seolah dilupakan oleh seluruh warga Dunia karena warga Dunia lebih memikirkan kegembiraan tahun baru. Ingatlah, bahwa  gusdur itu mati pada pukul 18:45 di tanggal 30 Desember tersebut. Apa firman Allah Swt di dalam Alquran yang bertepatan dengan angka 18:45 ini?

[18:45] Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ayat 18:45 tersebut menyiratkan, bahwa kehidupan Dunia ini seperti tumbuhan yang hidup di muka Bumi, kemudian IA MATI DAN DILUPAKAN (diterbangkan angin, tidak bernilai apa-apa). Memang benar demikian lah keadaannya. Gusdur mati dan kematiannya dilupakan seluruh warga Dunia, terlihat dari betapa semua warga Dunia lebih memilih bersenang-senang menyambut tahun baru, bukannya duduk bersimpuh terdiam merenungi kehilangan sang sahabat! Allah Swt Maha Benar!

Gusdur mati pada tanggal 30 Desember, atau 30:12, hal mana itu membuat kematian gusdur, yang terjadi di HARI TERAKHIR  di tahun 2009, menjadi saat ketika keluarga duka terdiam berputus asa, padahal semua warga kota dipenuhi harapan dan optimisme akan datangnya tahun baru yang lebih baik. Apa firman Allah Swt di dalam Alquran yang bertepatan dengan angka 30:12 ini?

[30:12] Dan pada hari terjadinya kiamat, orang-orang yang berdosa terdiam berputus asa.

Bukan kah kematian adalah kiamat, yaitu kiamat sughra? Dan bukan kah kematian itu adalah penghujung dari segala hal? Dan bukan kah peristiwa kematian gusdur itu adalah saat di mana keluarga gusdur terdiam berputus asa, padahal seluruh warga kota sedang dipenuhi harapan dan optimisme terhadap tahun yang akan datang menjelang? Allah Swt Maha Benar!!

Demikian! Allah Swt sudah menunjukkan kekuasaanNya kepada seluruh umat Dunia, bahwa jangan sekali-sekali menentang keagungan IslamNya… gusdur adalah contoh dan bukti bahwa Allah Swt tidak tidur!!!

Gusdur dibaptis oleh pendeta karosetan ….
Ini pertanda apa??

apakah Gusdur berdiri di pihak Islam??

apakah Muhammad saw mengajarkan umatnya utk dibaptis oleh pendeta-pendeta karosetan??

gusdur melalui pidato nya di salahsatu muktamar orang karosetan, menyataka bahwa dia mendukung usaha pemurtadan ….

ini pertanda apa??

apakah gusdur berdiri membela Islam??

Mengapa di sini justru tampak bahwa gusdur membela kepentingan dan syahwat orang karosetan untuk pemurtadan massal atas kaum muslim Indonesia??
 

Kerana Sayang Anak, Bapa Simpan Mayat Anak Dalam Peti Sejuk


Di sebuah bandar kecil bernama Huangling, Selatan China, Akibat terlalu sayangkan anak seorang lelaki bernama Tian Xueming telah meletakkan anaknya yang telah meninggal dunia didalam sebuah peti sejuk.

"Ia membuatkan saya berasa seolah-olah anak saya tidak pernah meninggalkan saya," kata Tian.

"Apabila saya dan isteri saya mahu bercakap dengan dia, kami hanya boleh tarik sehingga beberapa kerusi, angkat tudung dan berbualdengan beliau seolah-olah dia tidak pernah pergi meninggalkan kami."
Anaknya yang baru bermula belajar disebuah kolej telah disahkan mengidap leukemia. “Hidup Kami telah musnah, kami telah berjumpa ramai doktor, tetapi tiada apa lagi yang boleh kita lakukan. Saya hanya berdoa kita tidak akan kehilangan dia, "kata Encik Tian.

"Apabila dia meninggal dunia, saya tidak boleh menerima kehilangannya, jadi kami mengambil keputusan untuk meletakkan dia di dalam peti sejukuntuk memelihara tubuhnya."

Malah yang lebih menyakitkan, ini bukan kematian anak pertama yang telah memberi kesan Encik Tian.
"Selepas kematian anak saya, sayaberhenti kerja saya supaya saya boleh meluangkan lebih masa denganisteri dan anak saya."

Beliau juga berkata bahawa pada mulanyatidak ramai orang tahu tentang hal itu, dan kemudian khabar angin mulatersebar.

"Tidak ramai yang tahu pada mulanya apa yang kita telah dilakukankerana kita tidak mahu sesiapa untuk mengetahui. Kita merahsiakannyauntuk jangka masa yang panjang. Tetapi sejak beberapa tahun, berita itu merebak."

Apabila ditanya sama ada mereka akanmenguburkan dia akhirnya, beliau berkata, "Satu hari masa yangakan datang apabila ibunya dan saya tidak lagi boleh menjaga dia dan kami akan memberipengebumian yang betul, tetapi sekarang bukan masanya. Apabila tiba masa yang betul, kita akan memberi pengebumian yang paling terhormat dan mempunyai sambutan hidup, dan menjemput semua untuk memberi penghormatankepadanya.

Funny picture of ugly indian



Islam in America: From African Slaves to Malcolm X



Thomas A. Tweed
University of North Carolina, Chapel Hill
©National Humanities Center


When students think of Islam—if they do at all—they might summon an image of Denzel Washington playing a stern and passionate Malcolm X in Spike Lee's 1992 film, or maybe they imagine Louis Farrakhan on the speaker's platform at the Million Man March in 1995. Some might have encountered Middle Eastern Muslims on the nightly news, mostly as "fundamentalists" and "terrorists." A few have met immigrant Muslims in their neighborhood. Muslim students might be among their classmates. But Muslims are more diverse than popular images allow, and American Muslim history is longer than most might think, extending back to the day that the first slave ship landed on Virginia's coast in 1619. It encorporates two groups—Muslims from other countries who migrated to America by force or by choice, and African Americans who created Muslim sects in the twentieth century. Thus, a consideration of the Islamic presence in America provides a new perspective on several important (and familiar) issues that will be used to organize this essay:


1. What is the history of slavery in the United States?


2. How have immigrants resisted and accommodated American culture?


3. What were African Americans' experiences in the northern cities after the Great Migration?


4. How has African-American Islam addressed race relations since the 1960s?


5. Is America a Christian nation?

      At first, you will need to introduce Islam to your students, and a helpful way to do this is to invite their responses to the word "Muslim." What comes to mind when they hear the word? Write their responses on the board without comment, and then use the list to establish the dominant images of Muslims—for example, as militants, extremists, newcomers. Then you can begin to contest these impressions and establish that Islam is a diverse and long-standing American religion—one that has had a significant presence in the United States.


      At this point you will need to introduce the basic beliefs and practices of the world's one billion Muslims, most of whom live in Asia, not in the Middle East as most Americans presume. As in Christianity and Judaism, Islam (which is second only to Christianity in worldwide adherents) includes a number of communities or branches. The two major groups are Sunni Muslims, who constitute about 85 percent of Muslims, and Shii (or Shiite) Muslims, who account for 15 percent of the world's Islamic population. All traditional groups are represented among the five million Muslims in the United States, along with some new movements that have been cultivated on American soil.
      Muslims in prayer, Long Island, New York
      Courtesy Islamic Center of Long Island

      Despite their diversity, Muslims have a good deal in common. They look to the Qu'ran— the sacred book that records the message of Allah [God] as it was revealed to his final prophet, Muhammed (A.D. ca. 570-632), and they seek to follow the example (sunna) of the prophet. All accept the Five Pillars of Islam, the basic beliefs and duties of Muslims:

      1. A profession of faith (shahada). All Muslims must proclaim "There is no God but Allah and Muhammed is his prophet." Note here that Muhammed is not God in Muslim theology but rather a spokesperson or mouthpiece for the divine.


      2. Prayer (salat). All Muslims pray five times daily while facing the holy city of Mecca in Saudi Arabia.


      3. Alms (zakat). Faith also means outreach. To give thanks and follow the example of Muhammed, Muslims with the economic means must give alms to those who are less fortunate.


      4. Fasting (sawm or siyam). Muslims who are physically able are to fast from dawn to dusk during the ninth month (Ramadan) of the Islamic calendar.


      5. A pilgrimage (hajj) to Mecca. At least once in their lives, all Muslims who are able must make a pilgrimage to the Great Mosque in the holy city of Mecca, toward which they have knelt while praying five times daily during their lives. (Chapter seventeen of The Autobiography of Malcolm X offers a vivid account of this pilgrimage, which was life-transforming for him. It was on hajj, he recounts, that he first glimpsed the possibility that people of different races could get along.)

          Slavery and Islam


          A small but significant proportion of African slaves, some estimate 10 percent, were Muslim. You might tell the story of Omar Ibn Said (also "Sayyid," ca. 1770-1864), who was born in Western Africa in the Muslim state of Futa Toro (on the south bank of the Senegal River in present-day Senegal). He was a Muslim scholar and trader who, for reasons historians have not uncovered, found himself captive and enslaved. After a six-week voyage, Omar arrived in Charleston, South Carolina, in about 1807. About four years later, he was sold to James Owen of North Carolina's Cape Fear region. In 1819 a white Protestant North Carolinian wrote to Francis Scott Key, the composer of The Star Spangled Banner, to request an Arabic translation of the Bible for Omar, and apparently Key sent one. Historians dispute how much the African Muslim leaned toward Christianity in his final years, but Omar's notations on the Arabic bible, which offer praise to Allah, suggest that he retained much of his Muslim identity, as did some other first-generation slaves whose names have been lost to us. (Omar's Arabic bible, which has recently been restored, is housed in the library of Davidson College in North Carolina.) 


          Muslims and Immigration, 1878-1924


          Most history courses cover the immigrants who changed America's population throughout the nineteenth century. You might point out these immigrants were not all European or Christian. Many were Chinese and Japanese migrants who practiced Buddhism and other Asian traditions. Thousands of Muslims came as well, and most of these first Islamic immigrants were Arabs from what was then Greater Syria. These Syrian, Jordanian, and Lebanese migrants were poorly educated laborers who came seeking greater economic stability. Many returned, disenchanted, to their homeland. Those who stayed suffered isolation, although some managed to establish Islamic communities, often in unlikely places. By 1920, Arab immigrants worshiped in a rented hall in Cedar Rapids, Iowa, and they built a mosque of their own fifteen years later. Lebanese-Syrian communities did the same in Ross, North Dakota, and later in Detroit, Pittsburgh, and Michigan City, Indiana. Islam had come to America's heartland. 


          The first wave of Muslim immigration ended in 1924, when the Asian Exclusion Act and the Johnson-Reed Immigration Act allowed only a trickle of "Asians," as Arabs were designated, to enter the nation. 


          African-American Islam in the Urban North


          A Euro-American, Mohammed Alexander Webb (1847-1916), proclaimed himself a Muslim at the World's Columbian Exposition in Chicago in 1893, but converts have been more prominent among Americans of African descent, especially those who followed the mass migrations of southern blacks to northern cities beginning in the early decades of the twentieth century. Noble Drew Ali established a Black nationalist Islamic community, the Moorish Science Temple, in Newark, New Jersey in 1913. After his death in 1929, one of the movement's factions found itself drawn to the mysterious Wallace D. Fard, who appeared in Detroit in 1930 preaching black nationalism and Islamic faith. Fard founded the Nation of Islam there in the same year. After Fard's unexplained disappearance in 1934, Elijah Muhammed (1897-1975) took over, and he attracted disenchanted and poor African Americans from the urban north. They converted for a variety of reasons, but, for some, the poverty and racism in those cities made the Nation of Islam's message about "white devils" (and "black superiority") plausible. 


          Race Relations since the 1960s


          Elijah Muhammed won an important convert when Malcolm Little (1925-1965) joined the faith in a prison cell. Malcolm X, the name he took to signal his lost African heritage, became a public figure during the 1960s, although he separated himself from the Nation of Islam before his death. After Elijah Muhammed's death in 1975, the movement split. One branch, under the leadership of the fifth son of Elijah Muhammed, moved closer to the beliefs and practices of Islam as it is practiced in most of the world. This group, which would later change its name to the American Muslim Mission, is the largest African-American Islamic movement. The much smaller Nation of Islam, which the American Muslim Mission and other Islamic groups condemn as racist and unorthodox, is much more familiar to most Americans. Many American Muslims would claim that the Nation of Islam, led by Louis Farrakhan, is not representative of either immigrant or convert Islam in the United States. 


          As you teach the Nation of Islam, you might ask students what the history of African-American Islam since the Great Migration tells us about race relations. Why were Malcolm X and others in northern cities so willing to believe that European Americans were "white devils"? In what sense, you might ask, is the Nation of Islam's sacred story about the origin of whites as the mistake of a black scientist a "truthful" representation of many African Americans' experience? 


          Muslims and the New Immigrants after 1965


          If you are able to reach the post-1965 period in your class, you might reintroduce Muslims in a discussion of demographic changes in contemporary America. Palestinian refugees arrived after the creation of Israel in 1948. More important for the history of American Islam, the McCarran-Walter Act of 1952 relaxed the quota system established in 1924, thereby allowing greater Muslim immigration. The gates opened even more widely after the 1965 revisions of the immigration law. Since then, Muslim migrants have fled oppressive regimes in Egypt, Iraq, and Syria; and South Asian Muslims, as from Pakistan, have sought economic opportunity. By the 1990s, Muslims had established more than six hundred mosques and centers across the United States.

          Islamic Cultural Center of New York
          Islamic Center of West Virginia
          Islamic Center of Long Island
          Courtesy Muslimsonline.com, the Islamic Cultural Center of New York,
          and the Islamic Assn. of West Virginia
           

          Is America a Christian Nation?


          Toward the end of your discussion of Islam in America, you might raise this final issue concerning religion and national identity. Islam may soon be the second largest American faith after Christianity, if it is not already. Estimates vary widely, and a moderate estimate is five million American Muslims in 1997—more than Episcopalians, Quakers, and Disciples of Christ. When recounting this to students, and recalling the history of Islamic slaves and the early debates about the First Amendment, you might ask students whether America is a Christian nation as some have proclaimed. Could we, you might ask to focus the discussion, elect a Muslim president? If so, would she (while we are imagining, let's get bold!) view this land as a New Israel or take her presidential oath on a Christian Bible, as has been traditional?


          http://nationalhumanitiescenter.org/tserve/tsimages/red_bull.gifLinks to online resources
          http://nationalhumanitiescenter.org/tserve/tsimages/red_bull.gifRelated info in "Getting Back to You"




          Thomas A. Tweed holds a Ph.D. from Stanford University in Religious Studies and is currently the Zachary Smith Professor of Religious Studies at the University of North Carolina at Chapel Hill. Dr. Tweed is the author of Our Lady of the Exile: Diasporic Religion at a Cuban Catholic Shrine in Miami (Oxford University Press, 1997) and the editor of Retelling U.S. Religious History (California University Press, 1997). He most recently co-edited, with Stephen Prothero, Asian Religions in America: A Documentary History (Oxford University Press, 1999).

          KPN ingatkan semua pegawai dan anggota pamerkan prestasi profesionalisma tertinggi


          Kuala Lumpur , 18 April 2012 - Tan Sri Datuk Seri Utama Hj Ismail Bin Haji Omar, Ketua Polis Negara mengingatkan semua pegawai dan anggota yang terlibat dalam penugasan Pilihanraya nanti agar mempamerkan prestasi profesionalisma tertinggi kepada semua pihak.

          Ini dilihat penting supaya dapat menutup setiap ruang kritik kepada mana-mana pihak kerana setiap tugasan dilakukan secara profesional dan berintegriti mengikut lunas-lunas undang-undang dan peraturan sedia ada.

          Beliau menyatakan perkara tersebut di Perhimpunan Bulanan Semua Jabatan Peringkat Bukit Aman Anjuran Jabatan Logistik yang berlangsung di Perkarangan Kompleks 3 Bukit Aman.


          Dalam majlis tersebut, beliau turut menyentuh perkara berkenaan kesedaran terhadap alam sekitar yang diserapkan kedalam PDRM melalui penyediaan kerangka untuk pemodenan yang bercirikan ‘celik-persekitaran’ atau “environmental awareness” dimana ia bertautan dengan program kelestarian alam sekitar di bawah Dasar Teknologi Hijau Negara yang telah diperkenalkan sejak 24 Julai 2004.

          PDRM, menerusi Jabatan Logistik, telah merangka satu “blue print” berkaitan “Amalan Hijau Polis Diraja Malaysia” yang menghuraikan strategi dan kaedah pelaksanaan Amalan Hijau dan Aplikasi Teknologi dalam PDRM.

          Ianya akan digunakan sebagai garis panduan dan rujukan kepada warga PDRM untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif yang berlandaskan persekitaran atau disebut Perolehan Hijau Kerajaan Green Government Procurement (GGP).

          Antara yang akan dilakukan ialah meningkatkan kesedaran dari segi 3R, iaitu “Reuse, Reduce, and Recycle”, dimana langkah tersebut mampu mencorakkan persekitaran yang lebih baik untuk kehidupan generasi akan datang.

          Antara yang hadir ke perhimpunan tersebut ialah para pengarah PDRM, pegawai-pegawai kanan PDRM, anggota dan pegawai-pegawai awam Bukit Aman.